Kamis, 03 November 2011

Lewat Setahun, tentang Mengajarkan Anak Puasa (lagi)

Alhamdulillah, tahun ini Ferris puasa penuh. Alhamdulillahnya lagi, Ramadhan kali ini bertepatan dengan cuti melahirkanku. Puas rasanya bisa mendampingi anak belajar puasa penuh. Jauh-jauh hari sebelum Ramadhan, Ferris udah bilang, "Ma, nanti aku mau puasa penuh ya...".

Tahun ini kami memberikan reward sepuluh ribu untuk puasa penuhnya sehari. Jumlah yang relatif besar itu cukup memotivasi Ferris yang kini sudah mulai mengenal konsep uang. Hari pertama, lewat Dhuhur Ferris sudah mulai merengek ingin berbuka. Setelah Asar rengekan berlanjut menjadi tangisan. Mendengarnya membuat hati ini ikut melemah. Tapi berusaha menguatkan diri, membujuk Ferris untuk bertahan. Karena Ferris itu tipenya, kalo tidak "dipaksa", dia tidak yakin kalo sebenarnya dia mampu. Alhamdulillah, tidak sampai seminggu, rengekan dan tangisannya berubah menjadi pertanyaan, "Berapa lama lagi bukanya?", hampir sepanjang sore :D

Suksesnya puasa Ferris tahun ini sangat didukung dengan keberadaanku di rumah. Apalagi saat hari ketiga, aku yang baru selesai nifas niat berpuasa dan berhasil. Itu mendorong semangat Ferris juga. "Mama harus bayar puasa di hari lain di luar Ramadhan kalo Mama ga puasa loh, Mas. Pasti rasanya lebih berat kan kalo puasa saat yang lain ga puasa?!".

Soal reward dalam bentuk uang, kami berani berikan karena memang itu biasanya jadi motivasi kuat pada awalnya. Tapi sejalan waktu dan setelah Ferris terkondisi, biasanya dia lupa motivasi uangnya itu ^_^ Sekarang, uang rewardnya tersimpan bersama angpow lebaran setelah dikurangi untuk membeli beberapa mainan. Pasti rasanya lebih puas ya, Mas, belanja dengan uang hasil reward puasamu.

Yang membuat nilai plus puasa Ferris ini, dia ga susah dibangunin sahur dan ga perlu dimasakin masakan istimewa. Cukup yang ada sajah...

Semoga anak-anakku menjadi anak yang sholeh. Amiin...

Kamis, 19 Agustus 2010

Antara Fe, Puasa, dan Kemerdekaan

Ramadhan kali ini, jadi Ramadhan pertama Fe (5 tahun 7 bulan) belajar puasa setengah hari. Tentunya tidak mudah. Pekan pertama berjalan lumayan lancar. Bangun sahur tanpa dipaksa, disuapi dengan setengah merem. Bertahan secara bertahap dari buka pukul 11.30, kemudian pukul 12.00 dan terakhir bertahan sampai pukul 02.00. Semua dilakukan tanpa paksaan dan dengan sedikit rayuan. Reward yang Fe dapat adalah Rp. 10.000,00 setiap hari. Namun pada hari ketujuh, bertepatan dengan 17 Agustus, Fe mulai merengek jika melihat Fa makan. Mulai tergoda dengan jajanan. Mulai sering mengeluh.
Mungkin karena bertepatan dengan Hari Kemerdekaan, kami mulai memikirkan makna dari kemerdekaan dan belajar bagi Fe. Dengan memaksakan baik secara keras maupun lembut, kami merasa kemerdekaan Fe untuk berpikir, bertindak dan bertanggung jawab atas tindakannya telah kami rebut. Maka kami memutuskan untuk memberikan pilihan kepada Fe, yaitu yang pertama Fe boleh tidak puasa kalau memang dia tidak mau. Dengan syarat jika dia makan harus di dalam rumah dan tidak mendapatkan reward hariannya. Yang kedua, jika Fe berniat berpuasa, maka sebelum tidur Fe harus berniat, berjanji akan bangun sahur tanpa dipaksa, tidak mengeluh selama berpuasa dan tentunya mendapatkan reward hariannya. Kami menegaskan bahwa Fe masih dalam tahap belajar, jadi tidak dipaksakan. Alhamdulillah Fe memilih untuk berpuasa.
Dengan memberikan kemerdekaan memilih, semoga bisa membentuk Fe menjadi pribadi yang mampu berpikir dengan benar dan bertanggung jawab atas semua tindakannya. Semoga Fe menjadi anak yang sholeh.

Jumat, 12 September 2008

Ga Bakat Dagang

Beberapa temen di kantor ada yang berprofesi sampingan dagang macem-macem. Ada yang jualan batik, asesoris cewek, kue, tupper****, baju, buku, lulur, obat herbal de el el. Komplit lah. Lebih komplit dari PGC yang jaraknya ga sampe satu kilo dari kantor, hehehe. Kadang jadi kepengen juga, tapi dirasa-rasa keknya otak bisnisku kurang jalan. Kalo mo jualan kek temen keknya mikir kalo mo ngambil untung. Ngerasa ga enak aja. Ga mendukung banget kan.

Padahal sebenernya ada beberapa peluang kalo mau dimanfaatkan. Contohnya saat temen-temen mengikuti jejak Fa MPASInya pake tepung beras organik. Bisa aja saat itu aku jadi distributor, huah. Tapi aku malah mikirnya, sudah beruntung ibu-ibu mau ngasih MPASI non-instan. Hehehe...

Ato pas temen mo beli produk herbal yang aku udah jadi member, mo ngejual dengan harga konsumen kok rasanya berat. Mikirnya ga tega ngambil untung sama temen yang lagi membutuhkan pula. Huahaha... Emang ga bakat dagang nih...

Jadi, enaknya bisnis apa ya?



Selasa, 09 September 2008

Ramadhan dan Macet

Sore hari di bulan Ramadhan identik dengan kemacetan di jalan. Jam pulang maju setengah jam aja ga ngaruh. Tetep aja sampe rumah kayak biasanya. Tapi kalo dipikir-pikir, harusnya kita bersyukur kalo jalanan macet di sore bulan Ramadhan. Nah loh?! Bersyukur kena macet panjang? Hehehe, bersyukur karena berarti masih banyak orang beriman yang terpanggil untuk berpuasa. Dan semangat untuk berbuka puasa di rumah bersama keluarga, yang artinya mereka masih mengganggap rumah sebagai surga. Halah, kok jauh banget mikirnya.

Gara-gara macet ini, aku jadi sering menggunakan jasa ojek ketimbang menunggu ojek gratisan (hehehe, maksudnya suami). Berdasarkan pengalaman, mendingan kita tanya ongkos dan tawar menawar sebelum naik daripada ternyata kita bayarnya kurang atau ternyata kita bayar terlalu banyak (mending kalo lebih ding...). Jadi kalo ternyata ga cocok dengan harganya, ga usah naik kan. Kecuali kita emang punya tukang ojek langganan.

Kmaren sore dapet pengalaman kurang menyenangkan berhubungan dengan tukang ojek. Bareng temen, kami naik metromini 64 sampe Poltangan. Trus rencananya aku sambung ojek kayak hari sebelumnya. Karena hari kemaren udah pernah ngojek dan tau ongkosnya, untungnya sat mo naik aku nanya ongkos juga. Deng, deng, si abang yang ini minta ongkos hampir dua kali dari tukang ojek kemarin. Ditawar malah ngetawain. Akhirnya dari pada emosi, daku lebih memilih naik angkot sampe Ranco trus baru nyambung ojek lagi. Alhamdulillah sampe rumah jam 17.30, ga beda kek kemaren.

Mungkin ongkos ojekku emang harusnya ke tukang ojek depan komplek. Hehehehe.

Senin, 08 September 2008

Ngantor

Dari kecil, aku sudah membayangkan diriku menjadi wanita bekerja. Awalnya pengen jadi guru, gara-gara aku punya guru favorit di sekolah. Tapi setelah lulus SMU, aku lebih memilih pendidikan dengan ikatan dinas dikarenakan berbagai alasan.

Aku cukup menikmati kehidupanku. Saat memutuskan untuk menikahpun, yang ada dalam pikiranku ya tetap menjadi wanita bekerja. Sampai Fe lahirpun, belum ada keinginan untuk keluar dari pekerjaanku. Tapi setelah Fa lahir dan Fe beranjak besar, dan lebih lagi setelah aku mengenal konsep homeschooling, keinginan untuk keluar dari pekerjaan menjadi semakin tumbuh. Alasan utamanya sudah tentu ingin mendampingi anak-anak di rumah. Melihat mereka tumbuh dari hari ke hari. Keinginan yang cukup manusiawi menurutku.

Jam kerja instansiku dan suami cukup panjang, dari 07.30 sampai 17.00. Saat Fe masih bayi, alhamdulillah aku masih bisa cukup meluangkan waktu. Ditempatkan di luar Jawa, dengan jarak kantor dan rumah dinas yang cukup dekat, masih memungkinkanku untuk berangkat jam 07.15, menyempatkanku pulang saat jam makan siang, dan jam 17.10 sudah bebas bermain dengan Fe di rumah. Tapi setelah kembali ke Jakarta, setiap hari berjuang melewati kemacetan, jam 06.15 berangkat, jam 18.15 baru kembali sampai rumah. Itupun dengan sisa-sisa tenaga tidak cukup online saat bermain dengan anak-anak. Bfffff....

Tapi, sepertinya keadaan belum mendukung keputusanku untuk keluar dari pekerjaan. Mungkin cukuplah ini sebagai wacana atau keinginan yang tertunda entah sampai kapan.




Minggu, 07 September 2008

Antara Aku, Suami dan Motor

Untuk menembus kemacetan di Jakarta, sarana yang paling efektif tentunya adalah dengan motor. Bisa menyusup diantara kemacetan, bisa naik ke trotoar kalo terpaksa, atau mencari jalan alternatif diantara gang-gang kecil. Itu seninya pengendara motor terutama di Jakarta.

Selama ini, aku sangat tergantung dan terbantu dengan motor. Sayangnya masih sebagai penumpang. Sebenernya sih, pengen banget bisa jadi pengemudi. Tapi kok nyalinya belum kuat yah, hehehe. Ngiri banget kalo di jalanan liat cewek berani mengendarai motor, salut deh. Kalo kata temen sekantorku sih, cukup dengan "Takut jatuh dan berani jatuh saja". "Takut jatuh" artinya kita berusaha untuk selamat di jalan raya, sedangkan "Berani jatuh" berarti kita tau resiko berkendara motor dan kita siap menerimanya. Kalo melihat dua syarat itu, memang faktor nyali dan pede-ku belum memadai (^_^)

Kalo dulu, ketidakpedeanku didukung oleh suami. Sepertinya dia meragukan kemampuanku. Apalagi aku juga sering denger komentar kebanyakan laki-laki, yang sering melontarkan kata-kata sinis saat di jalan raya, "Wah, pasti yang bawa mobil itu cewek deh, ga punya aturan. Kayak jalanan milik sendiri", atau "Gayanya cewek banget saat bawa motor, ga punya perhitungan dan rasa takut". Tambah deh, nyaliku susut. Tapi akhir-akhir ini, kalo aku bilang pengen naik motor sendiri, suamiku malah komentar, "Asal hati-hati, trus ngikutin arus aja, insyaallah selamat kok. Ayo, kamu bisa!". Hehehe, entar komentar itu didasarkan kepercayaannya akan kemampuanku atau karena dia sodah bosan direpotin aku. Huah, piss, Pa.

Jum'at sore ada kejadian lucu yang melibatkan aku, suami dan motornya. Setelah dua hari sebelumnya aku ngojek dari kantor ke rumah biar ga mepet adzan maghrib sampe di rumah, Jum'at kemarin aku kembali ke ritual menunggu suami. Setelah dia sms agar aku menunggu di halte (yang berarti dia sudah di seputar Cawang), aku langsung menyebrang dan duduk manis di halte. Tapi setelah ditunggu-tunggu, dan aku liat kedatangannya spontan aku beranjak dari dudukku. Tapi tennyata, dia malah mbablas ga berenti di halte. Kontan saja aku terpana diantara kebingungan. Aku langsung menelponnya sambil menyusulnya, tengsin sama tukang ojek yang mangkal di halte.  Terjadi percakapan berikut.

"Apa sih?", sahutnya saat menerima panggilanku. Nadanya agak sebal.

"Kok aku ditinggalin sih, Pa?", aku bener-bener bingung.

"Ditinggal apaan?", masih belum ngeh.

"Iya, kok dikau ga berenti di halte?", sahutku dengan nada bingung.

"Oh, .....", Hp dimatikan.

"????", aku semakin bingung. Aku coba hubungin lagi.

"Kok dimatiin sih?", suaraku hampir putus asa.

"Iya nih, aku sedang menuju ke arahmu", jawabnya.

Dan kulihat suamiku melawan arus menuju ke arahku. Huahaahahaha. Untung saat itu moodku sedang baik, kalo ga mungkin kedatangannya akan disambut dengan wajah bete. Sepanjang jalan kita menertawai kejadian itu. Kata suamiku, dia ga nyadar kalo dah melewati halte seberang kantorku. Mungkin kalo aku ga ngliat kedatangannya, dia nyadarnya pas kena macet di lampu merah Jambul. Ada-ada saja. Sampe saat ini, kalo mengingat kejadian Jum'at sore itu, bikin aku tertawa sendiri.

Kamis, 04 September 2008

Saat Yang Pertama

Bismillah.

Selalu ada saat yang pertama. Dan inilah saat pertamaku menulis postingan di internet (biasanya cuma di intranet instansi tempatku bekerja). Butuh keberanian nih (kesannya kayak mo ngapain aja, hehehe). Keberanian membaca blog sendiri setelah selama ini hanya jadi penikmat blog orang lain.

Semoga ini bukan yang terakhir, tapi jadi awal tulisan-tulisanku (yang biasanya berisi curhat, keluhan, cerita sehari-hari dan harapan). Semoga ini jadi ajang belajar menulis bagiku. Hmm, kok jadi serius gini.

Jadi, inilah aku. Vivin, ibu dari Fe dan Fa.